Ponorogo — Jumat (27/06/2025), bertempat di Ndalem Kerto, Sejiwa kembali menggelar Kajian Volume 2 setelah sebelumnya sukses menyelenggarakan kajian perdana. Acara yang dimulai pukul 14.30 WIB ini dipandu oleh Ayez Maahadi selaku moderator dan menghadirkan Ustadz A. Khoirul Muttaqin sebagai pemateri. Mengusung tema “Mengurai Makna Hijrah, Selaras dengan Al-Qur’an dan Sunnah”, kajian Sejiwa menarik perhatian beragam kalangan, tidak hanya generasi muda, tetapi juga usia dewasa hingga lanjut usia.
Mengawali pemaparannya, Ustadz Khoirul Muttaqin menyinggung fenomena tren hijrah yang kerap dipahami sebatas perubahan penampilan, misalnya dalam cara berpakaian. Padahal, menurutnya, hijrah tidak hanya berhenti pada persoalan menutup aurat, sebab maknanya jauh lebih luas. Pada sekitar tahun 2000-an istilah hijrah sering digunakan untuk orang yang mempunyai keinginan memperbaiki diri dan menerapkan kebiasaan yang di ridhoi Allah Swt. Namun, seiring berjalannya waktu, pemahaman tentang hijrah tak jarang bergeser dari makna sebenarnya. Karena itu, penting untuk mengembalikan hijrah pada pemahaman yang utuh sebagaimana diajarkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Sejalan dengan itu, Ustadz A. Khoirul Muttaqin juga menyoroti dua kesalahan umum dalam memahami hijrah. Pertama, munculnya sifat merasa lebih baik dibanding mereka yang belum berhijrah. Kedua, menjadikan fashion sebagai tolok ukur utama. “Hijrah tak cukup jika hanya dimaknai dengan cara berpakaian saja. Tidak bisa jika hanya berpaku pada fashion. Hijrah harus dibarengi dengan menjauhi larangan agama, seperti halnya dengan tidak mencaci atau mencela orang yang berbeda dengan kita,” ujarnya.
Lebih lanjut, Ustadz A. Khoirul Muttaqin mengutip QS Al-Ankabut ayat 2 yang artinya: “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?” Dalam penjelasannya, ia menegaskan bahwa ujian justru hadir setelah seseorang memutuskan untuk berhijrah. “Hijrah adalah perjalanan panjang menuju ridho Allah Swt. Dalam perjalanannya, tentu tidak mudah, penuh dengan tantangan dan ujian. Namun satu hal yang harus diyakini, bahwa hijrah adalah keputusan mulia dan jalan yang terbaik,” ungkapnya.
Siti Nurhayati, salah satu peserta, menuturkan pandangan serupa. Ia menilai bahwa saat ini, hijrah sering ditampilkan sebatas pada penampilan luar. Bahkan tak jarang, penampilan juga jadi tolak ukur seseorang dalam berhijrah. “Dalam keputusan berhijrah, ada banyak hal yang harus dilakukan seperti yang disampaikan tadi, yakni belajar, konsistensi, dan doa. Menutup aurat memang kewajiban, tapi tidak serta merta menjadi tolak ukur hijrah. Hemat saya, hijrah adalah meninggalkan sesuatu yang buruk menuju sesuatu yang lebih baik,” paparnya.
Kajian ini juga disambut hangat oleh Lia Rahmawati, mahasiswi asal Magetan yang rela datang khusus untuk mengikuti acara. Ia menyebut kegiatan Sejiwa sebagai “angin segar” bagi generasi muda. “Alhamdulillah, kajian ini memberi pencerahan bagi saya dalam memahami makna hijrah yang sebenarnya sesuai dengan dalil-dalil yang ada. Dengan tema-tema yang menarik, saya akan terus menanti kajian selanjutnya,” pungkas Lia.